penampilan zombie-zombie dalam film ini memang langsung mengundang decak kagum. Dalam interviewnya di Festival Cannes 2016 sang sutradara Yeon Sang Ho mengungkapkan kekhawatirannya terhadap visualisasi zombie, yang selama ini lebih identik oleh sineas barat, mungkin tidak sesuai dengan kultur timur. Maka dari itu, tahap persiapan produksi terkait konsep zombie dalam film ini memakan waktu yang cukup lama.
Dari penampakan, cara berjalan, sampai detail terkecil diupayakan dapat menggambarkan percampuran sempurna antara semangat tragedi hari akhir ala World War Z dalam setting Korea Selatan. Sekilas jika dibandingkan dengan film zombie kebanyakan, zombie dalam film ini bergerak dengan sangat cepat. Mungkin cara bergerak unik itu berasal dari ide sang sutradara yang melihat zombie bukan hanya sebagai mayat hidup, tapi makhluk yang sedang mengamuk karena kehidupannya diambil.
Gak main-main lho persiapan aktor-aktor ekstra yang jadi zombie. Mereka bukan sekedar ekstra yang cuma datang waktu hari syuting, tapi semua gerakannya itu sebenarnya koreografi yang dipersiapkan secara profesional sejak awal. Bahkan ada nama resminya, bonebraking atau tarian ‘mematahkan tulang’. Disamping memang dari awal konsepnya beda, zombie yang super cepat itu mungkin dibikin gara-gara orang Korea itu sukanya buru-buru..kereta sampai ngirim makanan aja harus cepet-cepet. Kalau zombie barat bolehslow, zombienya Korea harus ‘ppali ppali’ alias cepat-cepat.
Gak cuma jalan cepatnya zombie yang bikin ngeri, cerita minim flash back dalam kereta cepat ini gak ngasih kesempatan penontonnya untuk ngambil napas
via www.space.ca
Merebaknya virus yang mengancam keberlangsungan peradaban manusia memang bukan hal baru dalam film-film apocalypse. Kisah antara bapak dan anak yang menjadi highlight dalam film ini juga sebenarnya mirip dengan film Tom Cruise tahun 2005 yang berjudul War of the World. Namun anehnya cerita klise yang telah berulang kali diangkat film-film Hollywood ini terasa segar di tangan sutradara Yeon Sang Ho.
Selain zombie-nya yang di upgrade, alur cerita yang sangat cepat dan settingan kereta yang sempit terisolasi menghadirkan ketegangan ekstra dalam film ini. Terkecuali satu adegan di akhir dimana Gong Yoo mengingat kembali momen kelahiran putrinya, sama sekali tidak ada flash back atau kilas balik yang biasanya berfungsi memperlambat alur dengan membuat penonton ikut bernostalgia menengok ke belakang. Maka dari itu jika ditanya bagian mana yang menjadi klimaks, sepanjang durasi 118 menit dari film ini kita berasa terus disuguhi klimaks dari awal sampai akhir.
Elemen lain yang digunakan secara cerdik oleh sutradara untuk meningkatkan level greget film ini adalah bagaimana plot cerita berkembang dari gerbong ke gerbong dalam kereta yang sedang melaju kencang. Layaknya main game, di setiap gerbong tokoh-tokoh utama menemui tantangan baru yang harus dilewati untuk sampai ke Busan. Kalau bicara kereta, jadi teringat salah satu film arahan sutradara Korea Selatan lain Bong Joon Ho yaitu Snow Piercer yang juga menggunakan metode sama. Entah memang ciri khas sutradara-sutradara Korea Selatan atau hanya kebetulan semata, tapi kedua film ini termasuk dua dari sedikit film Korea yang berhasil menembus box office dunia.
wahh menarik sekali filmnya
ReplyDeleteseru bgt kayanyaa film nyaa tar aku tonton dehhh 사랑해 ❤️💛
ReplyDeleteWahh...keren ugha filmnya :v
ReplyDelete